Setiap Sabtu, kau ada disana -di tempat pos dekat sekolah- mengajakku bicara. Obrolan kita sejujurnya tidak terlalu banyak. Yang banyak adalah kau menanyaiku dan aku menjawab pertanyaanmu. Dan disela-sela jawabanku, aku selalu bisa melihat temanku yang duduk di ujung kursi panjang itu. Pernah aku terpaksa ikut ke rumah temanku, karena kalian berdua memaksaku. Dan selalu saja, kunjunganku ke tempat temanku hanya sebentar karena aku memutuskan segera pulang ke rumah.
Sampai hari itu tiba....
Sabtu itu, kau tak ada disana-di tempat pos dekat sekolah. Berminggu-mingu setiap Sabtu aku melihatmu, duduk disana seolah menungguku. Meskipun harus sakit karena melihat kau dan temanku sangat dekat, tapi aku bahagia. Tapi hari itu, kau tak ada. Dan aku merasa kehilangan.
Hari itu, aku terus saja pulang ke rumah. Tak ada obrolan hari itu. Seperti biasa di hari Sabtu, aku menghabiskan soreku dengan malas. Bermain dengan tetangga sebelah rumah.
Tapi, Sabtu itu berbeda. Aku ingat, jam 3 lewat temanku -yang kupikir pacarmu- datang ke rumah. Menghampiriku dan bilang:
"Lihat siapa disitu." (sambil menunjuk ke ujung jalan)
Aku syok, kau ada disana, tersenyum dari jauh. Melambaikan tangan padaku.
Temanku memaksaku kerumahnya, dan aku menurutinya tanpa perlu berpikir. Aku hanya ingin mengobrol seperti biasanya. Hari itu di rumah temanku, kau meminta maaf karena tak bisa menunggu di tempat pos. "Ada urusan" katamu. Jujur, aku mulai merasa heran. Aku tak mau percaya kalau kau menungguku.
Kau melihat wajahku yang keheranan. Tersenyum. Aku masih tak mengerti. Obrolan kita berlanjut. Hal-hal kecil seperti gimana sekolah, banyak tugas ga, di kelas ngapain aja, terus berlanjut. Sampai satu pertanyaanmu yang kau lontarkan ke temanku keluar.
"(Namaku) punya pacar ya dikelas?" tanyamu pada temanku. Aku bingung.
"Ga" jawab temanku. "Dia(maksudnya aku) mana sempat pacaran, ngerjain tugas terus."
Kau berpaling padaku, tersenyum. Aku masih bingung. Tapi dengan cueknya aku berkata kepada temanku:
"Aku ga sempat, kamu sih enak, pacarnya dateng terus tiap Sabtu." kataku.
Kalian berdua bertemu pandang, dan bersamaan mengatakan: "Kami? Pacaran?" Lalu tertawa. Well, aku bingung. Kupikir, cocok sekali kalian berdua. Tertawa sinkron, membuat aku iri. Setelah tertawa, kau berpaling padaku dan bilang "Kami cuma teman." Lalu kau tersenyum padaku. Membuat harapanku muncul kembali. Hari itu, aku sangat bahagia karena tau kalau mungkin aku punya harapan. Hari itu, kau mengantarku pulang ke rumah.
Sabtu berikutnya, kau datang ke rumahku. Sore hari. Ada yang mau kau sampaikan padaku. Well, hari itu sudah sore dan aku baru usai mandi. Sambil mengeringkan rambut, kita duduk. Kutanyakan ada apa, tapi kau ingin mengajakku pergi keluar.
"Jangan disini" katamu.
"Kenapa? Ada apa sih?" tanyaku, masih sambil mengeringkan rambut.
"Ga enak" jawabmu.
"Bilang aja sih, apaan?" kataku, terus mengeringkan rambut.
Lalu kau menatapku, menatap mataku, dan bilang "Aku suka kamu, ayo kita pacaran".
Handuk di tanganku terjatuh. Kau membuatku syok setengah mati. Aku tak pernah menyangka kalau kau menyukaiku. Dengan serius kau berkata "Tolong dijawab". Aku yang masih syok. Cuma menatapmu. Dan aku tau jawabannya. Kujawab "Ya".
Sekarang, kau yang terlihat kaget. Seolah tak percaya. Lalu kau tersenyum. Senyum Won Bin mu. Lalu kau tanya "Iya apa?"
Kujawab "Iya"
Lagi kau tanya "Iya apa?"
Kujawab lagi "Iya"
Sampai kelima kalinya kau masih bertanya "Iya apa?"
Jujur, aku tau kau ingin membuatku berkata "Iya aku mau jadi pacarmu".
Tapi karena keisenganku muncul kujawab "Minggu depan aja ya."
Oh bodohnya aku, aku tak pernah tau kalo jawabanku hari itu begitu bodoh.
Sabtu berikutnya kau datang. Aku tau kau pasti datang. Tapi yang membuatku syok adalah pakaian yang kau pakai. Celana biru pendek. Celana anak SMP. Aku sangat syok, aku tak pernah tau kalau kau yang begitu tinggi dan sudah memiliki bentuk badan yang sempurnya ternyata masih SMP.
Kita berjalan ke arah rumah temanku, aku masih syok.
"Kid" kataku padamu, kata pertama yang keluar dari mulutku saat kita berjalan.
"Aku bukan anak kecil", katamu, berdiri tepat didepanku, menghentikan langkahku.
Kau berusaha menatap mataku, tapi aku berjalan cepat, berusaha meninggalkanmu.
Kita sampai di rumah temanku, kau langsung masuk dan memanggil temanku. Aku terduduk di ruang tamu. Kau dan temanku masuk ke ruang tamu. Duduk. Dan kau terlihat pucat, dan aku merasa bersalah padamu. Tapi rasa marahku membuatku berkata "Kalian berdua bohong padaku".
Temanku membelamu. Mengatakan kalau itu adalah usulnya untuk membiarkanku berpikir kalau kau sudah SMA. "Aku tau kau pasti menolaknya dari awal" katanya. "Sudahlah, aku tau kalian sama-sama suka, pacaran ajalah" lanjutnya.
Aku cuma diam, merasa dipermainkan dan ditipu. Apa reaksi teman-temanku kalau aku berpacaran denganmu, adik kelasku. Lalu aku bertanya "Jadi yang kelas 3 SMA itu bohong?"
"Tidak, kelas 3 tidak bohong, tapi SMAnya yang bohong. Dia tinggi dan berotot karena dia atlet taekwondo. Dia ga ngasih tau kamu kalau dia atlit karena takut. Takut kamu suka dia hanya karena dia seorang atlit" jawab temanku.
Kau masih diam, pucat.
Lalu kita ditinggalkan hanya berdua. Kau menatapku, seolah hatimu hancur. Dan aku menatapmu, merasa kalau hatiku juga hancur. Aku menolakmu hari itu juga. Aku menolakmu karena prinsip bodohku. Padahal kau hanya lebih muda dariku 3 bulan saja. Aku menolakmu setelah seminggu sebelumnya aku mengatakan "Iya". Aku menolak kau yang benar-benar ingin disukai karena dirimu. Aku menolak kau, yang seharusnya seminggu sebelum hari itu sudah menjadi pacarku.
Kenapa harus kau desak aku? Kenapa harus kau tanya "Iya apa?" padaku? Kenapa? Kenapa tidak kau biarkan aku berpacaran saja denganmu. Apa perlunya kata "Iya aku mau jadi pacarmu" itu?
Kalau dipikir sekarang, wajar kau memerlukan jawaban "Iya aku mau jadi pacarmu" itu. Kau memerlukannya untuk memastikan kalau aku benar-benar mau jadi pacarmu, jadi pacarmu karena dirimu, bukan karena kau atlit. Kau memerlukannya untuk memastikan kalau aku yang lebih tua darimu, mau berpacaran denganmu. Kau memerlukannya agar aku tak bisa mundur begitu tau kau adalah anak SMP. Ya, kau memerlukannya.
Tapi, aku dengan bodohnya menghancurkan kisah cinta yang mungkin saja indah. Well, aku juga tak tau.
Yang terburuk adalah kau mengalami kecelakaan saat aku masuk kuliah tingkat I. Kakimu harus diamputasi. Kau membuatku merasa benar-benar bersalah.
Kau yang tampan, kau yang tersenyum seperti Won Bin, kau yang berotot, kau yang atlit, harus kehilangan kakimu.
Aku menangis saat tau kejadian itu. Aku cuma menangis.
Terakhir yang aku tau adalah kau jadi atlit porcanas. Aku sungguh-sungguh berharap, kau bisa bahagia. Aku sungguh-sungguh berharap kau mendapatkan orang yang sangat mencintaimu dan tidak sebodoh aku dan prinsipku. Dan terakhir, aku berharap, kita bertemu, dan dengan tersenyum kukatakan
"Apa kabarmu, teman?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar